
Semakin Canggihnya Hoaks, Ketika Penyelenggara Pemilu Harus Melawan AI
Oleh: Jarot Sarwosambodo, S.E., Ketua KPU Kabupaten Purworejo
PUBLIK Indonesia sedang dihebohkan atas munculnya video menyesatkan yang menampilkan sosok mirip "Presiden Prabowo Subianto" yang tampil mengiming-imingi uang untuk bayar hutang, biaya sekolah, cicilan, modal usaha, renovasi rumah, sampai biaya sehari-hari. Dalam unggahan tersebut, "Presiden" meminta publik untuk menghubungi nomor WhatsApp tertentu dan menyetorkan sejumlah uang.(detik.com, 2025).
Namun, tentunya unggahan tersebut bukanlah fakta sebenarnya. Seperti dilansir Detik.com, video yang tampak nyata itu adalah produk AI atau Artificial Inteligence, atau marak dikenal dengan deepfake.
Contoh itu membuktikan bahwa teknologi digital saat ini sudah sangat maju. Tentunya, AI atau kecerdasan buatan diciptakan untuk membantu manusia untuk mengatasi berbagai permasalahannya. Misalnya, ChatGPT yang membantu mengatasi persoalan berbasis teks, seperti menulis naskah, menjawab pertanyaan, hingga menerjemahkan bahasa.
Namun, teknologi termasuk kecerdasan buatan selalu memiliki dua akibat, menguntungkan dan merugikan. Merugikan ketika ada pihak yang mengaplikasikan deepfake atau teknologi yang memungkinkan untuk memproduksi rekayasa foto, video, dan audio atas sesuatu yang tidak pernah diperbuat. Tujuannya untuk menjatuhkan pihak lain, perseorangan atau lembaga. Produk yang dihasilkan bisa sangat mirip dengan aslinya.
Hal semacam itu dapat meresahkan publik jika beredar secara masif menjelang dan saat Pemilu dan Pemilihan. Bayangkan ketika deepfake dari seseorang yang berpengaruh, isinya menjatuhkan pesaingnya. Lalu si pesaing dengan massa pendukung militan membalasnya dengan tindakan yang menjurus pada konflik horizontal.
Bayangkan juga repotnya penyelenggara pemilu ketika AI digunakan untuk membuat hoaks terkait penyelenggaraannya. Hoaks sempurna yang beredar di tengah masyarakat Indonesia yang tingkat literasi digitalnya berdasarkan data INDEF hanya 62 %. Jumlah tersebut paling rendah jika dibandingkan negara di ASEAN lainnya yang rata-rata mencapai 70 %. (cnbcindonesia.com,2023).
Namun, pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan 2024 tergolong minim sebaran hoaks. Fenomena hoaks yang cukup membuat heboh terjadi menjelang Pemilu 2024, yakni beredarnya video berisi informasi KPU susupkan 52 juta pemilih Pemilu 2024 dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS). Video juga menyertakan keterangan “52 juta dari DPT Pemilu 2024, 205.853.518=25,26%, Ketua KPU yang melanggar kode etik harusnya dipecat. Data pemilu sumber manipulasi untuk kecurangan”. (komdigi.go.id, 2024).
Tujuan video itu tentunya adalah untuk mendiskreditkan penyelenggara Pemilu, serta mendelegitimasi pelaksanaan Pemilu 2024. Meskipun tujuan hoaks itu tidak berhasil dicapai karena Pemilu 2024 berlangsung dengan aman dan lancar, serta menghasilkan pemimpin sesuai pilihan rakyat.
Hoaks yang pernah 'memakan korban' di Kabupaten Purworejo pada Pemilu 2019 dengan diselenggarakannya pemungutan suara ulang (PSU) di TPS 02 Desa Seboropasar, Kecamatan Ngombol. Saat itu beredar hoaks dalam format sederhana berupa pesan WhatsApp yang menyebutkan pemilih dari luar daerah boleh mencoblos di TPS mana pun hanya dengan menunjukkan KTP-el.
Situasi tersebut menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu, jajaran KPU dan Bawaslu. Tantangannya semakin berat lagi karena mereka harus melawan kecerdasan buatan yang disalahgunakan.
Mengandalkan 'perang' di udara dengan memasifkan konten media sosial acapkali naif. Faktanya, konten-konten itu tidak terlalu menjadi perhatian publik. Misalnya, sebagian video di akun YouTube resmi KPU RI atau Bawaslu RI, hanya ditonton ratusan orang. Sejatinya, penyelenggara pemilu bukanlah konten kreator yang memiliki keahlian membaca algoritma demi memenangkan persaingan di dunia maya.
Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan harus tetap memanfaatkan cara-cara lama untuk memenangkan 'peperangan'. Cara manual dengan turun ke bawah dan membangun komunikasi yang baik, bersahabat, dan intensif dengan masyarakat, sekiranya akan menjadi strategi paling efektif. Jajaran penyelenggara Pemilu dan Pemilihan tingkatan terbawah harus siap jadi ujung tombak.
Penyelenggara pemilu tidak hanya berkutat di persoalan teknis penyelenggaraan, namun turut memikul tanggung jawab mengedukasi masyarakat.
Langkah itu tentunya harus dilaksanakan secara konsisten, tidak hanya pada masa tahapan Pemilu dan Pemilihan saja, namun juga di luar tahapan. Semakin sering dan intensifnya penetrasi informasi kepemiluan yang benar, diyakini menambah kecakapan publik dalam menyikapi beragam informasi menyesatkan. Di sini, perlu adanya sinergisitas penyelenggara dengan pemerintah untuk membuat program bersama demi meningkatkan literasi kepemiluan masyarakat.
Hoaks sulit menggoyahkan pendirian publik yang teredukasi dengan baik. Biarlah hoaks 'menang' di udara, tapi di darat ia hanya angin lalu saja.