
Protes dan Masalah Hukum dalam Pemilu, Lazimkah?
Divisi Hukum dan Pengawasan, Dr. Imam Turmudi, S. Sy., M.S.I.
Dalam sejarah politik di Indonesia, setiap pelaksanaan pemilu selalu saja muncul protes yang menyoal proses maupun perolehan hasil pemilu. Hal ini terjadi tidak hanya pada masa Orde Baru, namun juga terjadi pada pasca reformasi. Bahkan Sejarah mencatat, Pemilu 1995 yang dikenal sebagai pemilu paling bersih pun tidak sepi dari protes. Adanya protes bisa disebabkan karena banyaknya pelanggaran terhadap peraturan pemilu yang tidak diselesaikan secara tuntas, disisi lain juga muncul anggapan terhadap perlakuan yang tidak adil oleh penyelenggara pemilu, hal ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari adanya protes. Protes inilah yang kemudian berujung pada pengajuan sengketa oleh pihak pemohon atau penggugat baik berupa sengketa proses di PTUN maupun sengketa hasil pada Mahkamah Konstitusi.
Adanya keberatan/masalah hukum dalam pemilu bukan berarti menunjukkan kelemahan penyelenggara pemilu, karena keberatan atau masalah hukum tersebut merupakan sesuatu yang lazim dalam pemilu mengingat pemilu pada hakikatnya adalah kompetisi. Meminjam istilah ketua KPU Hasyim Asy’ari periode 2022-2024 “Pemilu adalah arena konflik yang dianggap sah dan legal untuk meraih kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Karena faktanya, terjadi kompetisi pada masing-masing peserta pemilu dan calon dalam merebutkan suara dikonversi menjadi kursi atau dihitung menjadi Pemilih”. Ini menunjukan bahwa, menggugat proses dan hasil pemilu tidak boleh dipandang sebagai cerminan lemahnya sistem pemilu/sistem hukum pemilu, tetapi justru bukti kekuatan, vitalitas dan keterbukaan sistem politik di Indonesia.
Sebagai contoh, pada Pemilu 2024 Mahkamah Konstitusi mengabulkan 44 dari 297 gugatan sengketa Pileg 2024 dengan beragam putusan, mulai dari pemungutan suara ulang, penghitungan suara ulang, rekapitulasi suara ulang, atau penetapan hasil Pileg berdasarkan temuan Mahkamah Konstitusi. Jumlah ini membuat tingkat dikabulkannya sengketa Pileg pada 2024 sekitar 3 kali lebih banyak (14,81 persen) daripada 2019. Pada 2019, Mahkamah Konstitusi mengabulkan 12 (4,59 persen) dari 261 gugatan sengketa Pileg yang diregistrasi.
Meningkatnya jumlah dan variasi gugatan atau permohonan penyelesaian sengketa/pelanggaran pemilu adalah salah satu bagian dari implikasi meningkatnya pemahaman publik tentang bagaimana proses atau mekanisme mengembalikan hak-hak kepemiluan yang telah dilanggar.
Dalam usaha mewujudkan pemilu yang jujur dan adil serta dalam rangka menghindari terjadinya delegitimasi pemilu di masa depan, masalah-masalah penegakan hukum pemilu harus diselesaikan secara komprehensif. Keadilan pemilu merupakan instrument penting untuk menegakkan hukum dan menjamin penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilu yang bebas, adil dan jujur. Desain dan implementasi sistem keadilan pemilu harus memperhatikan siklus pemilu mengingat hampir seluruh kegiatan dalam pemilu berpotensi menimbulkan sengketa dan pelanggaran. Ini bertujuan agar setiap tahapan pemilu dapat berjalan tanpa hambatan sehingga proses pemilu dapat berjalan dengan lancar, wallahu a’lam.